Senin, 28 Februari 2011

IBU


Hari ini aku meminta uang untuk bayaran sekolah. Ibu selalu menyuruhku bersabar karna beliau tidak mempunyai uang. Namun, apa yang aku lakukan pada ibu? Aku bentak ibu. Bahkan aku berani sampai membantah nasihat ibu. Kalau tidak cepat membayar uang sekolah, mana mungkin aku bisa ikut ujian? Tanpa mengucapkan salam pada ibu, aku langsung keluar dan pergi ke sekolah, setelah sebelumnya aku bentak ibu. Aku bahkan tidak sempat menengok ke belakang. Namun aku tau, ibuku menangis. Menjerit dalam hatinya. Tapi aku tak pernah memperdulikan itu. Bahkan sikap akupun cuek. Padahal, dari dalam hati aku tau bagaimana, susahnya ekonomi keluargaku. Bahkan jika bukan karena tetangga aku yang baik pada ibu, mungkin aku sudah tidak bersekolah lagi seperti sekarang ini. Oh ampun ... ! Tingkahku liar sekarang. Bapak sering sakit-sakitan, ibupun juga sering menangis melihat perubahan yang ada pada diriku. Air mata ibu cukup ditahan, namun sembab di matanya bisa aku rasakan. Ibuku menangis tanpa air mata yang berlinang.
Waktu itu bapak sudah sembuh. Bapak memutuskan untuk mencari pekerjaan tetap. Beberapa hari kemudian, giliran ibuku yang jatuh sakit. Ibu sering batuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya, kata dokter, ibu sakit paru-paru. Oh ... dapat uang darimana aku untuk merawat ibu di rumah sakit? Bahkan makan sehari-haripun kita sering hutang.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya ibu mendapat hutangan dari tetangga, uangnyapun untuk membayar uang sekolah aku selama ini. Ibu berharap agar aku lulus dengan nilai terbaik. Ibu juga berharap agar aku men¬jadi anak yang sukses. Kata ibu, doa'nya ibu selalu menyertaiku. Ibu selalu memaafkan aku. Memaafkan tingkahku, sikapku selama ini yang sering membuat ibu menangis, maafin Resi ya bu ...
Akhirnya waktu UAN pun dimulai. Sebelum berangkat sekolah, aku berusaha untuk ngucapin salam sama bapak dan ibu. Namun hati aku berat rasanya, mengingat selama ini aku tidak pernah mengucapkan salam pada mereka. Aku memang anak yang tak pernah berbakti. Aku pun bingung, mengapa tingkahku menjadi seperti ini sekarang.
Akhirnya 4 hari sudah aku lalui. Aku berharap, agar nilai aku baik dan memuaskan. Aku sudah tidak sabar menunggu hasilnya.
Dan saat itupun tiba. Sebelum aku berangkat untuk melihat hasil kelulusan, aku sama sekali tidak melihat ibu, aku teriak-teriak memanggil ibu. Bahkan aku sampai hati bilang bahwa ibu itu tuli. Oh ... Tuhan, betapa kejamnya diriku ini. Aku sudah mempermainkan ibu seperti sampah. Aku kejam. Padahal, aku tau ibu sedang sakit waktu itu. Tapi aku tak pernah berfikir. Aku anak durhaka, Tuhan hukum aku.
Akhirnya akupun berangkat sekolah dengan perasaan jengkel. Dan akhirnyapun saat pengumuman kelulusan dimulai. Oh ... aku benar-benar kaget dan tak pernah menyangka. Aku memperoleh nilai terbaik. Ibu, Resi lulus. Saat itu aku pulang ke rumah. Berharap membawa kabar gembira ini pada ibu. Namun, waktu aku sampai di rumah, aku melihat banyak orang berkerumun di halaman rumah. Apa yang terjadi? Kulihat bendera putih berkibar. Oh ... ibu, apakah ibu baik-baik saja? Aku masuk ke dalam rumah, kulihat tubuh ibu terbujur lemas tak berdaya. "Kenapa ibu tidur di sini ?" Akupun bahkan belum sadar saat itu bahwa ibu sudah meninggal. Oh ... ampun Tuhan, apa yang aku lakukan pada ibu tadi pagi. Aku bentak ibu. Aku bahkan tidak memikirkan perasaan ibu waktu itu. Aku menyesal sekarang. Aku menangis. Ibu ... Resi lulus. Ibu harus liat bu. Air mataku menetes di wajah ibu. Berharap, agar ibu bangun lagi. Namun, sebelum ibu sempat melihat keberhasilanku, ibu sudah tiada. Maafin Resi bu. Ini hadiah untuk ibu. Resi berjanji, Resi akan lebih giat belajar agar Resi jadi anak sukses. Seperti yang ibu inginkan, bu. Resi janji. Sampai jenazah ibu digiring untuk dimakamkan, air mata penyesalanku terus mengalir. Aku hancur melihat ibuku yang sudah tua, terbaring sendiri di rumah barunya. Ingin aku tidur bersama ibu. Namun aku tak boleh putus asa. Aku harus tetap semangat dan menjadi anak yang sukses agar ibu dapat tersenyum di surga. Ibu, Resi sayang ibu.

Tidak ada komentar: